Wednesday, September 20, 2006
ENTAH APA NAMA NYA....
JAUH, DEKAT, ATAU TAK BERJARAK?

Saya Ingin mendekatkan diri kepada Allah. Demikian kata kawan saya. Kawan yang lain lantas bertanya: lho, apakah memang Allah itu jauh, sehingga masih perlu mendekatkan diri kepadaNya?

Kawan yang pertama, bingung juga menjawabnya. Kalau dijawab: Allah itu dekat, menjadi kontradiksi dengan statementnya sendiri, bahwa ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Tapi kalau dijawab: Allah itu jauh, salah juga karena Allah dengan jelas telah mengatakan bahwa Dia dekat kepada kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.

Maka, saya bilang kepadanya: coba rasakan saja dalam kehidupan Anda. Apakah Allah itu jauh atau dekat.

Dia berdiam sejenak. Lantas menjawab dengan sejujurnya, bahwa kadang ia 'merasa' dekat dengan Allah, tapi di kali lain 'merasa' jauh. 'Ya, kadang Allah terasa dekat, kadang terasa jauh / tegasnya. Ia tertawa kecil, dalam ketidakpastian. Ia belum memperoleh jawaban yang tuntas atas pertanyaan kawannya...

Maka, mungkin Anda pun ikut bertanya-tanya dalam hati. Kalau gitu, Allah itu jauh apa dekat ya? Kenapa kita juga merasakan kadang jauh kadang dekat dengan Nya. Ketika sedang merasa jauh, hati kita rasanya kosong dan gelisah. Tapi, sewaktu dekat, kita merasakan ketenangan, kententraman dan kedamaian yang sulit digambarkan.

Ketika merasa jauh, persoalan silih berganti datang dalam kehidupan. Ketika dekat, semua persoalan seolah lenyap ditelan terang benderangnya cahaya kehidupan. Ketika merasa jauh, pikiran kita bete dan sumpek, tidak jernih dalam memandang berbagai persoalan. Tapi ketika merasa dekat, segalanya menjadi demikian gamblang dan mudah untuk membuat keputusan keputusan.

Ketika jauh, kita merasa serba sulit dan jadi pemarah. Namun ketika merasa dekat, kita jadi sabar dan penuh keikhlasan. Kenapa ada perasaan dan kondisi demikian? Dan kenapa ini terkait dengan 몉asa dekat?dan 'rasa jauh' terhadap Allah?
Ini ada kaitannya dengan fungsi Jiwa dan Ruh, sebagaimana telah kita bahas dalam diskusi sebelumnya. Bahwa diri manusia terdiri dari 3 lapisan: yaitu badan wadag, Jiwa dan Ruh.

Perasaan dekat dan jauh terhadap Allah itu dialami oleh Jiwa kita. Bukan oleh badan wadag atau Ruh. Sebab badan wadag adalah benda mati, yang tidak memiliki 'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa itu. Ketika badan wadag harus berdiri sendiri terpisah dari jiwa maka ia tidak bisa merasakan apa pun. Mati, koma, pingsan ataupun tidur.

Sementara itu, Ruh adalah potensi Sifat-Sifat Ketuhanan yang ditularkan Allah kepada badan wadag. Karena kemasukan Ruh itulah maka badan wadag menjadi hidup dengan segala derivative Sifat-Sifat Allah. Dan, dengan kemasukan Ruh, badan wadag itu memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa, yang bisa merasakan kedekatan atau kejauhannya dengan Allah Tuhannya.

Jiwa adalah sosok yang ditulari Sifat-Sifat Allah lewat keberadaan Ruh di dalam wadag. Termasuk di dalamnya adalah 몊ifat?Berkehendak. Jiwa memiliki kehendak yang bebas, dalam pengaruh potensi Ruh. Dia bisa memilih 'keburukan' yang berorientasi hanya pada kebutuhan badaniah duniawiyah, atau 'kebaikan' yang berorientasi pada nilai-nilai luhur Ruhiyah ukhrawiyah. Seluruhnya dibebaskan sebagai pilihan jiwa.

Jadi, jauh dekatnya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan wadag, tapi jiwa. Bukan kuantitaif, melainkan kualitatif.

Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Allah. Karena, Dia memang lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran dekat itu lebih disimbolkan secara fisikal: urat leher. Karena memang Allah hadir di dalam setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk, sel-sel urat leher itu sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Allah juga hadir di dalam molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel penyusunnya. Tidak ada penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Allah itu bisa agak 'renggang' atau sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran Jiwa: semakin bersih atau semakin kotor.

Jiwa yang bersih bakal memancarkan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam diri kita, menjadi semakin benderang. Sedangkan Jiwa yang kotor bakal meredupkan pancarannya. Kuncinya hanyalah membersihkan jiwa atau mengotorinya.

Sebenarnya, dalam diri kita ada sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat itu akan memancar dengan kualitas yang semakin tinggi, ketika jiwa kita bersih. Sebaliknya akan meredup, kalau jiwa kita kotor.

Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat penyayang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang menggambarkan sifat-sifat Asmaa'ul husna.

Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam dirinya. Nah, orang yang demikian itu yang dikatakan 'dekat' kepada Allah. kenapa? Karena kualitas sifat-sifatnya 'mendekati Sifat-Sifat Allah'. Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah Sifat-Sifat ketuhanan yang universal. Menebarkan kasih sayang untuk seluruh alam sekitarnya. Itulah sifat-sifat seorang Islam yang sesungguhnya : rahmatan lil 'alamin...


MASIH PERLUKAH KITA MENDEKAT

Kalau benar, kita sudah demikian dekatnya kepada Allah, apakah masih perlu mendekatkan diri kepada Nya? Untuk apa? Bukankah Dia sudah menegaskan bahwa Dia begitu dekat dengan hamba-hambaNya. Dan akan mengabulkan setiap permohonan yang disampaikan kepadaNya?

QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus terlebih dahulu sepakat tentang makna kata 'dekat' Bahwa dekat yang dimaksud di sini adalah kedekatan kualitas, sebagaimana telah kita bahas di bagian depan. Bukan sekadar kedekatan fisik, karena sesungguhnya Dia telah begitu dekatNya dengan hamba-hambaNya.

Maka, kalau kita baca ayat-ayat Qur'an, Allah menggunakan beberapa istilah yang hampir sama maknanya untuk menggambarkan kedekatan makhluk kepada Tuhannya. Setidak-tidaknya ada 5 tingkat kedekatan.

1. Meliputi
Dalam banyak ayat Allah mengatakan bahwa Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya meliputi segala sesuatu. Kita sudah membahas di depan, bahwa karena Allah tidak terbagi-bagi dalam penyusun yang lebih kecil, maka Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya itu sebenarnya menunjuk kepada Eksistensi Tunggal.
Ketika Allah mengatakan salah satu sifatNya meliputi makhlukNya, maka sebenarnya seluruh sifat-sifat yang lain juga meliputi makhlukNya. Dengan kata lain, Dzat TunggalNya meliputi segala yang ada.

QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

QS. Al Baqarah (2) : 19
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir

Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan kata mukhith, kadang wasi뭓. Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa Allah itu sedang meliputi makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.

Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika dikatakan bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah Dzat Yang Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, termasuk alam semesta keseluruhannya.

Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat tersebut menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap makhlukNya, termasuk setiap diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh manusia.
Jadi, makna kata 'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk dengan Tuhannya atau sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.

Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata 몀eliputi? Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah. DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!

2. Bersama
Kata 'dekat' yang memiliki makna lebih khusus adalah 'bersama'. Kata yang digunakan adalah ma'ash shabirin (bersama orang-orang yang sabar), ma'akum, ma뭓na, ma뭓hum (bersamamu, bersama-Ku, bersama mereka). Dan sebagainya.

Kata 'bersama' menunjukkan kedekatan secara khusus. Lebih khusus dibandingkan dengan 'meliputi'. Karena itu, penggunaan kata 'bersama' ini langsung dikaitkan dengan objeknya: bersamamu, bersama-nya, bersamaku.

Ada semacam perhatian khusus, ketika Allah mengatakan: 멇ku bersama dengan orang-orang yang sabar?Seakan-akan Dia ingin menegaskan bahwa Allah akan memberikan pembelaan dan melindungi orang-orang yang sabar.

QS. Al Baqarah (2) : 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

QS. Al Hadiid (57) : 4
Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa, yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

QS. Al Anfal (8) : 46
Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar

Dan banyak lagi ayat lainnya tentang makna 'kebersamaan' itu. Tapi sangat jelas, bahwa ketika Allah menggunakan kata 멳ersama? maka Dia sedang menunjukkan kedekatan yang lebih dekat dibandingkan dengan 'meliputi'.

3. Dekat.
Tingkat yang berikutnya lagi adalah 멶ekat?alias Qarib. Ini adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan secara lebih emosional. Di banyak ayat Allah menggambarkan kedekatanNya dengan kata qarib. Di antaranya adalah berikut ini.

QS. Al Baqarah (2) : 186
Dan apabila hamba-hamba- Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran

QS. Al A'raaf (7) : 56
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik

QS. Qaaf (50) : 16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya

QS. Huud (11) : 61
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

Ayat-ayat di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa Allah menggunakan kata 'qariib' untuk menggambarkan kedekatan secara emosional (ingat istilah 'sahabat karib'). Misalnya: bertobatlah kepada Nya. Sesungguhya tuhanku amat dekat, lagi memperkenankan do'a.

Demikian pula pada ayat-ayat sebelumnya. Dia menggunakan kata qariib untuk memancing kita lebih dekat lagi secara emosional. Bahwa Allah sangat menyayangi kita. Bahwa Allah sangat pemurah dan pemaaf. Bahwa Allah pasti memperkenankan do'a kita. Sehingga, ketika seseorang telah dikatakan dekat dengan Allah, dia adalah orang yang beruntung, karena rahmat dan kasih sayangNya selalu menaunginya di dunia dan akhirat..

QS. Ali Imran (3) : 45
Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),

QS. Al Waqi뭓h (56) : 11
Mereka itulah orang yang didekatkan kepada Allah

QS. Al Muthaffifin (83) : 21
Yang disaksikan, oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).

QS. Al Muthaffiffin (83): 28
(yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

4. Di sisiNya
Istilah lain untuk menggambarkan kedekatan makhluk dengan Allah adalah 'indallah' alias di sisi Allah. Kata indallah yang dikaitkan dengan kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, biasanya menggambarkan posisi yang tinggi. Diantaranya adalah ayat-ayat berikut ini.

QS. Ali Imran (3) : 169
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki

Di antara hamba-hamba yang didekatkan di sisi Allah itu adalah para pejuang yang mati syahid. Yang mengorbankan hidupnya untuk mengabdi di jalan Allah. Melakukan syi'ar agama untuk kemajuan umat.

Ada beberapa tingkat kualitas seiring dengan kualitas pengabdian dan amalannya. Sehingga Allah mengatakan bahwa kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Allah mengampuni dosa dan kesalahan mereka. Dan mereka memperoleh balasan yang baik di sisiNya. Bahkan di bagian terakhir dari urutan ayat di bawah ini, saya kutipkan firman Allah yang menegaskan bahwa itulah orang-orang yang imannya benar. Karena itu, mereka memperoleh ampunan dan rezeki dari Allah. Mereka diberi derajat yang tinggi di sisiNya.

QS. Ali Imran (3) : 163
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

QS. Shaad (38) : 25
Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.

QS. Shaad (38) : 40
Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.

QS. Al Anfal (8) : 4
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.

5. Berserah Diri
Dan, tingkat kedekatan yang paling tinggi adalah 'berserah diri' kepada Allah. Muslimuun. Inilah suatu tingkatan, dimana ego soseorang sudah sedemikian rendahnya. Dan, yang muncul hanya Ego Allah saja.

Dirinya telah lebur ke dalam Diri Allah. Sifat-sifatnya juga lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah. Kehendaknya telah luluh ke dalam Kehendak Allah. Itulah yang di dalam hadits Qudsi dikatakan bahwa orang-orang demikian itu 'melihat dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, dan seluruh langkah perbuatannya dilambari oleh ilmu-ilmu Allah.'

Di dalam Al Qur뭓n salah satu hamba yang diceritakan memiliki tingkat kedekatan seperti itu adalah nabi Khidir. Sehingga ia digambarkan sebagai nabi yang misterius, dan sulit dipahami jalan pikiran dan perbuatannya. Jangankan oleh manusia pada umumnya, setingkat nabi Musa pun sulit mengikuti jalan pikiran nabi Khidir. Hal itu diceritakan Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 60 - 82.

QS. Al Kahfi (18) : 65

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami

Cerita itu sangat panjang, silakan dibaca sendiri dari Al Qur뭓n. Tapi sebagai gambaran umum, Allah menyuruh nabi Musa untuk berguru kepada nabi Khidir, seorang nabi yang tidak terkenal dan misterius di pinggiran pantai, pertemuan dua lautan.

Ketika mengikuti perjalanan nabi Khidir itulah, nabi Musa sempat beberapa kali dibuat heran dan marah, karena nabi Khidir melakukan hal-hal yang tidak masuk akalnya.

Yang pertama, Khidir merusak perahu nelayan miskin. Yang kedua, dia membunuh seorang anak kecil. Dan yang ketiga, dia mengajak Musa untuk membangun sebuah rumah tua yang sudah roboh, tanpa upah.

Maka, kata Khidhr, Inilah saat kita berpisah, karena engkau tidak sabar mengikutiku, sekarang aku tunjukkan alasan seluruh perbuatanku itu. Kemudian, Khidir membeberkan semuanya. Bahwa, semua perbuatannya itu bukan karena hawa nafsunya, melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, yang tidak diketahui oleh Musa.

Bahwa merusakkan perahu itu, justru untuk menyelamatkan perahu milik nelayan tersebut agar tidak dirampas oleh seorang raja lalim. Membunuh anak kecil, dimaksudkan untuk menyelamatkan anak itu sendiri dari dosa dan juga orang tuanya yang saleh. Karena anak itu akan menjadi anak yang jahat.

Sedangkan, membangun rumah yang roboh dimaksudkan untuk menyiapkan harta peninggalan bagi anak-anak yatim yang tinggal di rumah tersebut. Hartanya ditinggalkan di bawah rumah oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia.

Dan yang menarik, di akhir cerita itu, Khidir mengungkapkan bahwa semua itu bukanlah atas kehendaknya, melainkan Kehendak Allah. Sebagaimana diinformasikan Allah dalam potongan ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Kahfi (18) : 82
뱟dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri뀛

Ini sungguh merupakan tingkat kedekatan yang tiada taranya. Bahwa nabi Khidir telah bisa menyatukan kehendaknya dengan Kehendak yang Maha Tinggi, Kehendak Allah, Sang Maha Tahu..

Namun, kedekatan semacam ini tidak bisa ditiru begitu saja oleh orang lain. Tidak bisa, kita melakukan kesewenang-wenangan , kemudian mengatakan bahwa semua itu atas kehendak Allah, seperti nabi Khidir! Bisa sangat berbahaya. Seperti sebagian murid-murid Siti Jenar yang dikabarkan berbuat semaunya, dengan alasan telah bersatu dengan Allah. Manunggaling kawula kelawan Gusti.

Untuk mencapai tataran itu ada suatu proses panjang yang mesti dijalani. Menghilangkan ego diri sendiri dan memunculkan Ego Allah.


BAGAIMANA CARA MENDEKATINYA

Jadi bagaimanakah kita harus mendekatkan diri kepada Allah?
Ternyata, kuncinya sederhana saja: luruskan 'wajah' kita hanya kepada Allah. Jangan 'tolah-toleh' kemana-mana.

Bagaimana riilnya?Juga sederhana: ikuti dan pahami tatacara ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. Jangan terjebak hanya pada kulitnya saja. Jangan terjebak pada 'upacara kosong' belaka. Karena proses kedekatan itu bakal muncul dalam Jiwa kita, seiring dengan 'kedalaman makna' ibadah yang sedang kita jalani.

Semakin paham kita tentang apa yang kita jalani, semakin nyambung hati kita dengan Allah. Dan kemudian tertulari oleh Sifat-Sifat UniversalNya. Maka semakin dekatlah kita kepada Allah. Sifat-Sifat itu, lantas akan terpancar dalam keseharian kita.

Sebaliknya, ketika kita tidak paham makna ibadah, kita bakal menjauh dariNya, karena hati tidak pernah nyambung denganNya. Dan karenanya, Sifat-Sifat Allah juga tidak muncul dalam keseharian kita. Yang muncul egoisme.
Maka dalam praktek kehidupan kita, makna jauh' dan 'dekat' kepada Allah tergambar dari pancaran Sifat-Sifat ketuhanan dalam diri kita.

Kalau Allah Maha Adil, dan kemudian kita bergerak ke arah ketidakadilan, maka jelas-jelas kita sedang menjauhi Allah. Kalau Allah tidak pernah berbohong, dan kemudian kita suka berbohong, itu pun sangat jelas kita sedang bergerak menjauhi Allah.

Kalau Allah menebarkan rahmat kepada seluruh alam, dan lantas kita melakukan berbagai perusakan terhadap alam sekitar kita, maka itu pun sangatlah gamblang, kita sedang menjauhi arah.

Pokoknya, ketika Allah menunjukkan Kasih SayangNya yang bersifat universal, tapi kita menunjukkan ego yang bersifat individual, maka kita sedang bergerak menjauhi Allah.

Kalau ingin mendekatkan diri kepada Allah, kuncinya cuma satu: terapkanlah Sifat-Sifat Universal Allah dalam kehidupan kita sebagai refleksi ibadah kita. Maka bisa dipastikan, kita sedang bergerak menuju kepada Allah. Jiwa kita sedang berproses menuju Sifat-Sifat Allah yang universal.

Keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, pemaaf, dermawan, lemah lembut, sopan santun, rasa belas kasihan, semangat keilmuan, kecerdasan, dan berbargai sifat positif berkualitas tinggi lainnya, adalah sebagian dari Sifat-Sifat Universal ketuhanan.

Maka, orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu pada hakekatnya telah menyatukan sifat-sifatnya dengan Sifat-Sifat Ketuhanan. Semakin universal perilakunya, semakin menyatulah dia dengan Perilaku-Nya.

Jadi, pemahamannya menjadi sangat sederhana. Bahwa orang-orang yang menjalankan perilaku egoistik dalam hidupnya, sebenarnya dia sedang bergerak menjauh dari 'kualitas Ketuhanan'. Sebaliknya, orang yang menjalani perilaku universal, dia sedang mendekatkan diri kepada 'kualitas ketuhanan'. Dan ketika sudah demikian universalnya, maka dia telah 'menyatu' dengan 'Kualitas Ketuhanan' itu sendiri.

Al Qur뭓n mengajarkan tiga kualitas kepribadian seorang manusia. Yang paling rendah adalah bersifat egois individualis. Yang lebih tinggi, bersifat sosialis. Dan yang paling tinggi adalah spiritualis.

Ketiga sifat itu bertingkat-tingkat kualitasnya menjadi semakin universal. Kenapa sifat-sifat sombong, serakah, menang sendiri, pemarah, pembohong, menipu, pendendam dan sebagainya dilarang oleh Allah? Karena semua sifat itu bertumpu kepada sifat egois. Mementingkan diri sendiri.

Oleh Allah, kita diperintahkan untuk menggesernya menjadi sifat-sifat yang lebih sosial. Kita disuruh banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Menolong dengan harta benda kita, dengan ilmu, dengan kekuasaan, dan dengan apa pun yang kita miliki sebagai kelebihan. Inilah hakikat dari konsep hablum minannas.

Jika semua itu kita jalankan dengan penuh keikhlasan, barulah kita beranjak menuju tingkatan paling tinggi, yaitu spiritualis. Tingkatan yang mengamalkan Sifat-Sifat Ketuhanan tanpa pamrih. Kecuali hanya karena Allah semata. Lillahita'ala!

Inilah hakekat hablum minallah. Hubungan dengan Allah itu baru bisa berjalan sempurna kalau kita sudah melatih dan melewati interaksi kemanusiaan secara baik pula. Hablum minannas menjadi landasan bagi hablum minallah!

Semua itu bisa kita lakukan, hanya kalau kita berserah diri kepada Allah. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kita. Laa ilaaha illallah...

Dirinya lenyap. Yang ada hanya Allah. Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam Al Qur뭓n ketika menolong orang-orang mukmin dalam sebuah peperangan yang sangat menentukan.

QS. Al Anfaal (8) : 17
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Atau, dalam sebuah hadits Qudsi sebagaimana kita bahas sebelumnya:
밺ia melihat dengan penglihatan Allah, dia mendengar dengan pendengaran Allah, dan dia berbuat dengan bimbingan ilmu-ilmu Allah.?/font>

Memang, badannya masih ada. Karena ia adalah seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Tapi, egonya telah lenyap, melebur ke dalam Ego Allah. Dia itulah orang yang paling pantas disebut sebagai khalifatu fil Ardhi - wakil Allah di muka bumi. Keberadaannya selalu mencerminkan keberadaan Allah. Ia menjadi pantulan Sifat-Sifat ketuhanan bagi kemaslahatan makhlukNya tanpa pandang bulu.

Rahmatan lil 'alamin...

Kalau dia hadir, siapa saja yang berada di dekatnya akan merasakan ketentraman dan kedamaian. Bukan malah memperoleh berbagai macam masalah. Begitulah memang Sifat Allah, barangsiapa 'ingat' dan 'dekat' denganNya, maka ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian.

QS. Ar Ra'd (13) : 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Kita jadi teringat kepada rasulullah saw. Seorang teladan yang luar biasa. Keberadaannya selalu memberikan rahmat pada sekitarnya. Kecuali, orang-orang yang memang tidak mau menerimanya. Hati yang tertutup terhadap rahmat.

Sejak kecil sampai wafatnya, beliau mengalami proses penyempurnaan menuju Sifat-Sifat Universal Ketuhanan. Dikenal sebagai orang yang jujur, adil, amanah, sulit marah, penuh belas kasihan dan sangat pemaaf.

Bahkan sampai kepada 'musuh-musuhnya' pun beliau tidak pernah menganggap musuh. Melainkan sebagai orang-orang yang patut dikasihani, karena tidak mengikuti ajaran islam yang dibawanya. Mereka pasti akan mendapat bencana karenanya.

Tidak ada dendam dan kebencian yang beliau tebarkan. Yang ada hanya kasih sayang, Rahmat. Karena itu, ketika beliau ditodong pedang mau dibunuh oleh orang kafir, beliau hanya tersenyum.

?i>Siapa yang bakal menolongmu dari pedangku ini Muhammad? Kata orang kafir itu. Rasulullah hanya mengatakan: Allah! Dan pedang itu pun terjatuh.

Beliau memungut pedang, dan ganti menodongkan kepada orang kafir tersebut, sambil berkata: ?i>siapa yang bisa menolong kamu dari Pedang ini??Sambil gemetar orang itu menjawab: ?i>tidak ada, ya Muhammad? Kecuali engkau mau memaafkanku
Maka, rasulullah mengembalikan pedang itu kepadanya, dan menyuruhnya kembali kepada kaumnya. Diceritakan kemudian, akhirnya orang itu masuk Islam. Bukan karena takut kepada Rasulullah, melainkan terkagum-kagum pada keagungan sifat beliau. Rasulullah bukan menebar dendam, melainkan menebar kasih sayang dan kedamaian.

Beliau orang yang sangat sulit marah. Bahkan di kali yang lain, beliau dilempari batu sampai mukanya berdarah-darah. Bukannya marah dan sakit hati, tapi malah doa tulus yang keluar dari mulut beliau.
'Ya, Allah jangan Engkau azab mereka, karena sesungguhnya mereka belum mengerti tentang Risalah yang aku bawa ini Bukalah hati mereka untuk menerima agama ini...'

Begitu agungnya! Karena itu, digambarkan bahwa akhlak beliau adalah akhlak Qur'an. Sedangkan Qur'an adalah Firman Allah. Jadi, akhlak dan amal perbuatan rasulullah itu sebenarnya adalah manifestasi dari FirmanNya. Seorang manusia biasa, tapi mencerminkan dan memantul-mantulkan Sifat-Sifat Allah bagi sekitarnya. Rahmatan lil 'alamln...

Di akhir hayatnya, yang meluncur dari mulut beliau adalah: ummati... ummati... ! Sebuah kegelisahan kalau umatnya tersesat. Tidak mengikuti jalan Allah, terjebak pada kehidupan duniawi yang semu. Ego beliau telah lenyap, lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah yang Universal. Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi.. .

Secara teknis operasional, sifat-sifat yang demikian itu bisa diperoleh dan dilatih dengan teknik-teknik peribadatan yang diajarkan beliau. Mulai dari Dzikir, shalat puasa, berzakat, sampai pada ibadah haji. Seluruh ibadah yang beliau ajarkan itu adalah mekanisme untuk memperoleh kualitas jiwa tersebut. Tapi tentu saja bukan sekadar tatacaranya, karena beliau juga mengajarkan: innamal a뭢alu binniyat. Semua peribadatan itu akan menghasilkan kualitas pribadi yang maksimal jika dilakukan dengan niat yang benar. Bukan sekadar seremonial belaka. Nabi memperingatkan, betapa banyak orang beribadah tetapi tidak memahami maknanya. Sehingga mereka tidak mencapai tujuan yang dimaksud, kecuali Cuma 'upacara kosong' belaka.

Shalat dan Dzikir memiliki makna untuk selalu ingat dan mendekatkan diri kepada Allah Setiap saat, Shalat 5 waktu itu lebih bersifat mendisiplinkan saja. Intinya kita diajari untuk selalu ingat bahwa Allah besama kita terus, sehingga kita diajari untuk terus berdzikir di luar shalat 5 waktu.

Karena itu, orang yang mampu selalu berdzikir kepada Allah, dia akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Itulah yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang menegakkan makna shalat di dalam hidupnya.

Puasa juga adalah tatacara untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan puasa kita dilatih untuk mengontrol ego kita. Bahkan merendahkan ego, untuk mengakui Ego Allah saja.

Sayangnya, banyak orang mengira bahwa dengan tidak makan dan tidak minum, serta yang membatalkan puasa saja, mereka akan bisa mendekatkan diri kepadaNya. Tidak, kata Rasulullah. Banyak orang berpuasa, ternyata tidak memperoleh makna puasa, kecuali cuma lapar dan dahaga.

Begitu pula zakat dan haji. Zakat adalah latihan untuk tidak bersifat posessive secara berlebihan kepada harta benda. Ini adalah bagian dari latihan untuk menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.

Bukan berarti kita tidak boleh menikmati dunia, melainkan menghilangkan rasa 'memiliki'. Sebab semua ini adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan mencabut rezeki dari hamba-hambaNya, kapan pun Dia menghendaki.

Sedangkan haji, adalah sebuah prosesi unik, dimana kita diperintahkan Allah untuk meneladani dan napak tilas perjalanan hidup nabi Ibrahim. Seorang nabi yang berderajat sangat tinggi, sehingga memperoleh gelar Kholilullah: nabi Kesayangan Allah.

Jadi, ringkas kata, cara pendekatan kita kepada Allah sebenarnya sangatlah sederhana. Ikutilah cara Rasulullah saw dengan berbagai teknik ibadah yang beliau ajarkan. Dijamin ego kita akan semakin rendah dan semakin rendah. Akhirnya bisa berserah diri hanya kepada Allah. Asalkan ini yang penting niatnya benar. Kepahamannya benar, Lurus hanya karena Allah semata : lillahi ta'ala...
posted by belly @ 7:17 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
TENTANG KOE


Name: belly
Home: Indonesia
About Me: aku.....yah akulah ,dengan sgala aku ku ..akubukan lah kamu dan segala tentang kamu mu..maka itu akau yah aku lah..Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi...
See my complete profile

NYANG BARU INIH
NYANG UDAH LAMA
MY MUSIC


MusicPlaylist

ShoutMix chat widget
Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Free Blogger Templates Photobucket Photobucket